(ini tulisan pertama blog ini | di-posting ulang diurutan pertama atas permintaan seseorang)
Pembentukan kabupaten baru boleh jadi merupakan salah satu strategi untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah tertinggal di selatan Jawa Barat. Aspirasi itu telah muncul dan diperjuangkan di berbagai tempat. Mulai dari sisi barat di Sukabumi Selatan, sampai ke sisi timur di Ciamis Selatan. Tetapi sampai sejauh ini fakta menunjukan bahwa belum ada satupun kisah sukses keberhasilan pembentukan kabupaten baru di selatan Jabar ini.
Mengapa aspirasi-aspirasi dan perjuangan-perjuangan itu kandas atau terganjal di jalan? Tulisan ini saya buat sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkuat cita-cita (visi) dan spirit perjuangan untuk pembangunan daerah di sepanjang pantai selatan Jabar. Tulisan akan saya buat dan muat dalam beberapa bagian, mencuri waktu di sela kegiatan rutinitas tutup tahun.
Memori Safari Pantai Selatan Jabar
Dua sampai empat kali dalam setahun sudah pasti saya pulang kampung ke tanah leluhur Cikembulan, Sidamulih. Dalam lima tahun terakhir saya menyaksikan dinamika politik yang terjadi di pakidulan Ciamis, berkenaan dengan wacana, aspirasi dan perjuangan pemisahan Ciamis Selatan sebagai kabupaten tersendiri.
Sejauh yang saya pahami ada dua alasan yang melatarbelakangi muncul dan bergulirnya aspirasi pemekaran Kabupaten Ciamis Selatan. Pertama, adalah alasan ketimpangan pembangunan antara ‘utara-tengah dengan selatan’. Kedua, potensi kekayaan sumberdaya yang dimiliki Ciamis Selatan.
Tentang ketimpangan ‘utara-tengah dengan selatan’ ini fenomenanya memang bisa dilihat dengan kasat mata. Fenomena tersebut pernah saya saksikan namun dalam konteks yang lebih luas, mencakup daerah-daerah yang berada di sepanjang pantai selatan Jabar.
Lebih kurang lima tahun lalu saya berkesempatan bersafari menyusuri pantai selatan Jabar mulai dari Kalipucang di bagian timur hingga Pelabuhan Ratu di bagian barat. Sepanjang rute tersebut fisik dan mental memang harus dipersiapkan. Pertama-tama badan akan banyak dapat guncangan karena infrasturktur jalan dan sarana transportasi publik yang sekedarnya. Pada beberapa rute lebih buruk lagi bahkan terputus, sehingga terpaksa safari harus dilanjutkan dengan sepeda motor (ojeg).
Kesehatan fisik benar-benar harus dijaga prima dan senantiasa harus hati-hati dalam melangkah. Karena sekali jatuh sakit yang cukup berat, maka tiada jalan lain harus dievakuasi ke daerah tengah atau utara Jabar. Saya telah menyaksikan; tak ada satupun rumah sakit di sepanjang jalur pantai selatan Jabar ini. Coba Anda bayangkan bagaimana penduduk pakidulan betapa repotnya jika harus berobat ke rumah sakit, karena jauh dan otomatis menjadi mahal.
Saya juga tak menemukan bank, kecuali di beberapa tempat yang terbatas setingkat kantor ranting. Jadi jangan mimpi, kartu ATM sama sekali tiada berguna. Lalu bagaimana bisa masyarakat mendapatkan layanan dukungan finansial untuk pengembangan usaha? Ketika kutanyakan pada seorang pegawai bank di Pameungpeuk. Jawabannya klise bahwa masyarakat belum sampai pada kebutuhan itu, jika pun ada umumnya sulit dibina dan bekembang. Dikatakannya karena hal itu akibat rendahnya kapasitas sumberdaya manusia/masyarakat.
Saya kemudian berpikir pantaslah demikian, karena sepanjang pantai selatan Jabar tak satupun universitas bahkan setingkat akademi. Universitas atau akademi mungkin terlalu muluk (mimpi), sedangkan pusat-pusat pelatihan ketenagakerjaan pun juga tidak ada. Padahal kita tahu banyak sekali warga pakidulan pergi ke kota atau keluar negeri dengan hanya berbekal pendidikan dan keterampilan yang minim.
Fenomena ketimpangan pembangunan tersebut tentu banyak lagi jika dicermati. Tetapi itulah yang masih dapat saya ingat, karena fenomena itu merupakan kebutuhan layanan dasar suatu masyarakat. Fenomena tersebut tentu masih dapat disaksikan dan dirasakan sampai dengan saat ini (saat Blog ini pertama dibuat). Penggalan memori kisah ketimpangan tersebut meski pahit saya ungkap kembali, semata-mata untuk menemukan pemahaman mengapa daerah pakidulan bergejolak dalam bidang politik.
Rasa ketertimpangan warga pakidulan tersebut telah lama terpendam sebagai sebuah energi sosial yang tertumpuk. Rasa keterimpangan tersebut kemudian terekspresikan dengan cukup leluasa pasca momen reformasi yang terjadi di 1998. Segera setelah itu wacana pemekaran wilayah menggejala. Dimulai dari Sukabumi Selatan, Cianjur Selatan, Garut Selatan, Tasik Selatan dan Ciamis Selatan (yang ini paling mutakhir).
Kembali ke memori bersafari di pantai selatan Jabar. Kendati warga pakidulan hidup dalam keterpencilan infraktruktur dan layanan publik. Bukan berarti juga terpencil dalam mental dan juga dalam potensi (sumberdaya).
Pada sepanjang perjalanan safari tersebut saya disuguhi dengan keramah-tamahan dan ketangguhan khas orang Sunda pakidulan. Meski susah untuk mendapatkan warung/rumah makan dan penginapan di sepanjang perjalanan, tidak sampai saya kelaparan, kehujanan dan kedinginan. Di sepanjang jalan itu saya merasa seperti berada di ‘negeri’ sendiri, Cikembulan.
Pada sepanjang perjalanan itu saya sangat terkesan dengan keadaan alam, potensi sumberdaya dan keramahtamahan warganya. Yang paling menonjol dari keadaan alam tentu saja tempat-tempat wisatanya. Sedangkan dari komoditi yang paling menonjol adalah pohon kelapa, padi, dan hasil laut. Seluruh sumberdaya tersebut dengan tingkat pemanfaatan dan pengelolaan yang seadanya –karena keterbatasan infrastuktur, keterbatasan sumberdaya manusia, dan keterbatasan dukungan finansial seperti disinggung di atas– telah mampu mencukupi segala kebutuhan dasar masyarakat.
Untuk sektor-sektor tertentu seperti pariwisata, gula kelapa, kayu dan hasil laut bahkan kemudian menjadi andalan dalam pendapatan daerah. 'Komoditi' lain yang cukup signifikan adalah jasa tenaga kerja. Sektor ini bahkan memberi kontribusi tidak sedikit terhadap devisa negara. Karena daerah sepanjang pantai selatan Jabar merupakan kantung-kantung TKI pejuang yang tangguh, yang eksis di banyak negara.
Saya tidak perlu menyatakan angka-angka atau statistiknya atas potensi sumberdaya yang dimiliki daerah di sepanjang pantai selatan Jabar. Disamping karena saya bukan ahlinya, juga karena angka dan statistik terkadang bisa menyesatkan.
Pengabaian
Saya percaya penuh kepada para inisiator dan para pejuang pemekaran kabupaten-kabupaten di pantai selatan Jabar. Bahwa segala potensi sumberdaya yang dimiliki tentu telah dihitung dan telah dianggap memadai sebagai modal awal untuk kemandirian dan pengembangan daerahnya.
Untuk kasus mutakhir aspirasi pemekaran Kabupaten Ciamis Selatan, sayang sekali energi sosial dan potensi sumberdaya tersebut tiba-tiba saja ‘diabaikan’. Tim pengkaji dari Unpad dan ITB yang melakukan penilaian atas kelayakan pemekaran Kabupaten Ciamis, menyatakan: Ciamis Selatan tak layak untuk dimekarkan sebagai kabupaten baru. Dipaparkannya bahwa hasil non-migas Ciamis selatan tidak memadai. Hasil penilaian kurang 5 poin dari total skor 60 poin, yang dipersayaratkan sebagai skor minimal untuk pembentukan kabupaten baru.
Pada satu sisi, saya apresiasi atas kerja tim pengkaji dan menghargai hasil penilaiannya. Tetapi pada sisi lain, dalam hati saya berpikir rasanya tidak masuk akal jika cita-cita dan spirit masyarakat untuk mengejar cita-cita bagi kemajuan daerahnya terganjal hanya gara-gara kurang 5 poin. Dan sungguh naif jika kemudian angka 5 ini menjadi angka takdir yang akan menjadi pembatas dan melanggengkan perbedaan nasib masyarakat antara "utara-tengah" dengan "selatan" Jabar.
Benarkah hasil penilaian tim pengkaji tersebut? Pertanyaan ini muncul dari kalangan DPRD Ciamis, pada 1 Des 08 yang lalu. Pertanyaan itu sekaligus merupakan pernyataan keraguan dan ketidak-puasan terhadap tim pengkaji. DPRD Ciamis kemudian segera membuat wacana untuk meminta penilaian ulang oleh tim pengkaji yang berbeda.
Saya sendiri dalam hati bertanya; apakah para pejuang aspirasi warga pakidulan akan menunggu tim pengkaji yang baru, menggerakan demo-demo sebagai wujud protes, atau berhenti seperti halnya yang telah terjadi di Sukabumi Selatan, Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Tasik Selatan? (bersambung).***
Mengapa aspirasi-aspirasi dan perjuangan-perjuangan itu kandas atau terganjal di jalan? Tulisan ini saya buat sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkuat cita-cita (visi) dan spirit perjuangan untuk pembangunan daerah di sepanjang pantai selatan Jabar. Tulisan akan saya buat dan muat dalam beberapa bagian, mencuri waktu di sela kegiatan rutinitas tutup tahun.
Memori Safari Pantai Selatan Jabar
Dua sampai empat kali dalam setahun sudah pasti saya pulang kampung ke tanah leluhur Cikembulan, Sidamulih. Dalam lima tahun terakhir saya menyaksikan dinamika politik yang terjadi di pakidulan Ciamis, berkenaan dengan wacana, aspirasi dan perjuangan pemisahan Ciamis Selatan sebagai kabupaten tersendiri.
Sejauh yang saya pahami ada dua alasan yang melatarbelakangi muncul dan bergulirnya aspirasi pemekaran Kabupaten Ciamis Selatan. Pertama, adalah alasan ketimpangan pembangunan antara ‘utara-tengah dengan selatan’. Kedua, potensi kekayaan sumberdaya yang dimiliki Ciamis Selatan.
Tentang ketimpangan ‘utara-tengah dengan selatan’ ini fenomenanya memang bisa dilihat dengan kasat mata. Fenomena tersebut pernah saya saksikan namun dalam konteks yang lebih luas, mencakup daerah-daerah yang berada di sepanjang pantai selatan Jabar.
Lebih kurang lima tahun lalu saya berkesempatan bersafari menyusuri pantai selatan Jabar mulai dari Kalipucang di bagian timur hingga Pelabuhan Ratu di bagian barat. Sepanjang rute tersebut fisik dan mental memang harus dipersiapkan. Pertama-tama badan akan banyak dapat guncangan karena infrasturktur jalan dan sarana transportasi publik yang sekedarnya. Pada beberapa rute lebih buruk lagi bahkan terputus, sehingga terpaksa safari harus dilanjutkan dengan sepeda motor (ojeg).
Kesehatan fisik benar-benar harus dijaga prima dan senantiasa harus hati-hati dalam melangkah. Karena sekali jatuh sakit yang cukup berat, maka tiada jalan lain harus dievakuasi ke daerah tengah atau utara Jabar. Saya telah menyaksikan; tak ada satupun rumah sakit di sepanjang jalur pantai selatan Jabar ini. Coba Anda bayangkan bagaimana penduduk pakidulan betapa repotnya jika harus berobat ke rumah sakit, karena jauh dan otomatis menjadi mahal.
Saya juga tak menemukan bank, kecuali di beberapa tempat yang terbatas setingkat kantor ranting. Jadi jangan mimpi, kartu ATM sama sekali tiada berguna. Lalu bagaimana bisa masyarakat mendapatkan layanan dukungan finansial untuk pengembangan usaha? Ketika kutanyakan pada seorang pegawai bank di Pameungpeuk. Jawabannya klise bahwa masyarakat belum sampai pada kebutuhan itu, jika pun ada umumnya sulit dibina dan bekembang. Dikatakannya karena hal itu akibat rendahnya kapasitas sumberdaya manusia/masyarakat.
Saya kemudian berpikir pantaslah demikian, karena sepanjang pantai selatan Jabar tak satupun universitas bahkan setingkat akademi. Universitas atau akademi mungkin terlalu muluk (mimpi), sedangkan pusat-pusat pelatihan ketenagakerjaan pun juga tidak ada. Padahal kita tahu banyak sekali warga pakidulan pergi ke kota atau keluar negeri dengan hanya berbekal pendidikan dan keterampilan yang minim.
Fenomena ketimpangan pembangunan tersebut tentu banyak lagi jika dicermati. Tetapi itulah yang masih dapat saya ingat, karena fenomena itu merupakan kebutuhan layanan dasar suatu masyarakat. Fenomena tersebut tentu masih dapat disaksikan dan dirasakan sampai dengan saat ini (saat Blog ini pertama dibuat). Penggalan memori kisah ketimpangan tersebut meski pahit saya ungkap kembali, semata-mata untuk menemukan pemahaman mengapa daerah pakidulan bergejolak dalam bidang politik.
Rasa ketertimpangan warga pakidulan tersebut telah lama terpendam sebagai sebuah energi sosial yang tertumpuk. Rasa keterimpangan tersebut kemudian terekspresikan dengan cukup leluasa pasca momen reformasi yang terjadi di 1998. Segera setelah itu wacana pemekaran wilayah menggejala. Dimulai dari Sukabumi Selatan, Cianjur Selatan, Garut Selatan, Tasik Selatan dan Ciamis Selatan (yang ini paling mutakhir).
Kembali ke memori bersafari di pantai selatan Jabar. Kendati warga pakidulan hidup dalam keterpencilan infraktruktur dan layanan publik. Bukan berarti juga terpencil dalam mental dan juga dalam potensi (sumberdaya).
Pada sepanjang perjalanan safari tersebut saya disuguhi dengan keramah-tamahan dan ketangguhan khas orang Sunda pakidulan. Meski susah untuk mendapatkan warung/rumah makan dan penginapan di sepanjang perjalanan, tidak sampai saya kelaparan, kehujanan dan kedinginan. Di sepanjang jalan itu saya merasa seperti berada di ‘negeri’ sendiri, Cikembulan.
Pada sepanjang perjalanan itu saya sangat terkesan dengan keadaan alam, potensi sumberdaya dan keramahtamahan warganya. Yang paling menonjol dari keadaan alam tentu saja tempat-tempat wisatanya. Sedangkan dari komoditi yang paling menonjol adalah pohon kelapa, padi, dan hasil laut. Seluruh sumberdaya tersebut dengan tingkat pemanfaatan dan pengelolaan yang seadanya –karena keterbatasan infrastuktur, keterbatasan sumberdaya manusia, dan keterbatasan dukungan finansial seperti disinggung di atas– telah mampu mencukupi segala kebutuhan dasar masyarakat.
Untuk sektor-sektor tertentu seperti pariwisata, gula kelapa, kayu dan hasil laut bahkan kemudian menjadi andalan dalam pendapatan daerah. 'Komoditi' lain yang cukup signifikan adalah jasa tenaga kerja. Sektor ini bahkan memberi kontribusi tidak sedikit terhadap devisa negara. Karena daerah sepanjang pantai selatan Jabar merupakan kantung-kantung TKI pejuang yang tangguh, yang eksis di banyak negara.
Saya tidak perlu menyatakan angka-angka atau statistiknya atas potensi sumberdaya yang dimiliki daerah di sepanjang pantai selatan Jabar. Disamping karena saya bukan ahlinya, juga karena angka dan statistik terkadang bisa menyesatkan.
Pengabaian
Saya percaya penuh kepada para inisiator dan para pejuang pemekaran kabupaten-kabupaten di pantai selatan Jabar. Bahwa segala potensi sumberdaya yang dimiliki tentu telah dihitung dan telah dianggap memadai sebagai modal awal untuk kemandirian dan pengembangan daerahnya.
Untuk kasus mutakhir aspirasi pemekaran Kabupaten Ciamis Selatan, sayang sekali energi sosial dan potensi sumberdaya tersebut tiba-tiba saja ‘diabaikan’. Tim pengkaji dari Unpad dan ITB yang melakukan penilaian atas kelayakan pemekaran Kabupaten Ciamis, menyatakan: Ciamis Selatan tak layak untuk dimekarkan sebagai kabupaten baru. Dipaparkannya bahwa hasil non-migas Ciamis selatan tidak memadai. Hasil penilaian kurang 5 poin dari total skor 60 poin, yang dipersayaratkan sebagai skor minimal untuk pembentukan kabupaten baru.
Pada satu sisi, saya apresiasi atas kerja tim pengkaji dan menghargai hasil penilaiannya. Tetapi pada sisi lain, dalam hati saya berpikir rasanya tidak masuk akal jika cita-cita dan spirit masyarakat untuk mengejar cita-cita bagi kemajuan daerahnya terganjal hanya gara-gara kurang 5 poin. Dan sungguh naif jika kemudian angka 5 ini menjadi angka takdir yang akan menjadi pembatas dan melanggengkan perbedaan nasib masyarakat antara "utara-tengah" dengan "selatan" Jabar.
Benarkah hasil penilaian tim pengkaji tersebut? Pertanyaan ini muncul dari kalangan DPRD Ciamis, pada 1 Des 08 yang lalu. Pertanyaan itu sekaligus merupakan pernyataan keraguan dan ketidak-puasan terhadap tim pengkaji. DPRD Ciamis kemudian segera membuat wacana untuk meminta penilaian ulang oleh tim pengkaji yang berbeda.
Saya sendiri dalam hati bertanya; apakah para pejuang aspirasi warga pakidulan akan menunggu tim pengkaji yang baru, menggerakan demo-demo sebagai wujud protes, atau berhenti seperti halnya yang telah terjadi di Sukabumi Selatan, Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Tasik Selatan? (bersambung).***
Mas Ganip Gunawan, salam kenal dari saya di Bekasi, Membaca posting Mas Gun, saya jadi iri pingin juga melakukan safari seperti yang mas lakukan, Tapi walau demikian saya percaya apa yang Mas sampaikan, sebelum membaca posting Mas Gun saya punya feeling yang kira-kira sama dengan apa yang Mas sampaikan, oleh karena itu dari mulai dihembuskan adanya wacana akan dibentuknya Kab. Pangandaran saya selalu bersemangat untuk mengikutinya. Karena saya yakin hanya dengan cara itu Wilayah Selatan bisa sejajar dengan daerah-daerah lain di tengah ataupun Pantura yang perkembangannya lebih cepat. Saya meninggalkan Pangandaran selepas SMP karena saat itu tidak ada pilihan lain kecuali ke SMA ataupun ke SMEA dimana SMA saat itu baru membuka pendaftaran murid angkatan pertama (1985). Kini setelah 23 tahun kondisi Pangandaran dan sekitarnya Banjarsarai, Padaherang, Kalipucang, Cijulang dan yang lain kondisinya tidak jauh berbeda Pelayanan kesehatan masih sama seperti yang dulu, Sekolah tidak jauh berbeda, Universitas ???mimpi kale..., Jalan kereta api hancur....., padahal nenek moyang kita membangun jalan tersebut dibawah moncong senapan serdadu Belanda dan jepang yang sewaktu-waktu siap diletuskan....kasihan mereka....saya ingat waktu tamat SMP mau legalisir/buat akta kelahiran harus ke Ciamis berapa biaya perjalanan, yang saya rasakan sangat berat untuk ukuran seorang anak petani seperti saya saat itu dan saya yakin masih banyak anak-anak lain yang mengalami hal yang sama seperti saya, belum lagi kalau tidak langsung jadi harus balik lagi....sungguh pengalaman yang melelahkan.
BalasHapusSaya yakin sebetulnya banyak putra-putri daerah selatan jabar yang potensial tapi karena kendala sarana dan prasarana, akhirnya kandas ditengah jalan.....Apakah warga selatan jabar tidak boleh maju, apakah warga jabar selatan tidak boleh sejahtera, ayo urang pkidulan semua bangun....dari mimpi... maximalkan potensi diri, maximalkan potensi daerah...bekerjasama saling membahu, jangan mudah diadudomba....masa depan yang lebih baik dedepan anda....Buat tim peneliti yang paling penting adalah melihat fakta, adapun kalau ada standar nilai tertentu yang harus dicapai berikan solusi agar nilai tersebut bisa dicapai tapi tetap dalam kerangka Kab. hasil pemekaran, bukan dengan cara sebaliknya, mematahkan semangat pemekaran...
Ibarat anak belajar jalan kalau terus dipegangin sampai kapanpun anak tersebut tidak akan bisa berjalan sendiri...Ayo teman-teman lanjutkan perjuanganmu saya selalu mendukung untuk kemandirian Kab. Pangandaran,Amiin...
Salam kenal juga. Kupikir kita satu angkatan, bedanya lepas SMP saya langsung ke SMA Pangandaran (angkatan pertama). Jika demikian, yo atuh masuk ke japri.
BalasHapus