10 Juni 2009

Menyoal Aset Rakyat di Kawasan Wisata Pangandaran (1)


Di kawasan wisata Pangandaran terletak tanah eks HGU PT PN VIII Batulawang seluas lebih kurang 375 hektar. Segera setelah masa HGU berakhir pada tahun 1996, hak pengelolaannya beralih ke tangan sebuah perusahaan swasta bernama PT. Startrust. Menyusul kemudian pada tahun yang sama dibuat MoU antara pihak perusahaan dengan Pemda Ciamis untuk membangun Kawasan Objek Wisata Terpadu (KOWT).

Setahun sejak MoU dibuat, yakni pada tahun 1997 status lahan kemudian berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Setelah mengantungi HGB tersebut perusahaan dengan leluasa membangun perumahan elit yang telah dibangun di bagian barat lahan tersebut, yakni di Cikembulan.

Apa arti dari semua ini? Itu berarti aset rakyat telah disulap menjadi hak-hak pribadi! Tiga belas tahun sudah proses itu telah berjalan.

Saya ingin mengistilahkan kasus eks HGU di kawasan wisata Pangandaran tersebut sebagai ‘penggelapan’ aset rakyat. Tetapi saya belum berani untuk menyatakan istilah ‘penggelapan’ tersebut dalam konteks/pengertian KKN, karena hal tersebut memerlukan penyelidikan lanjut dan fakta hukum yang memadai.

Istilah ‘penggelapan’ yang saya maksud di atas lebih kepada; kita sebagai warga Pangandaran ‘gelap’ atas informasi mau diapakan aset rakyat tersebut, oleh siapa dan untuk siapa? Sudah tiga belas tahun tak ada satupun pihak yang dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan meyakinkan.

Kita sebagai orang kebanyakan warga pakidulan memang awam tentang hukum. Yang kita tahu adalah bahwa tanah HGU itu adalah tanah negara yang diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya, sebagaimana amanat konstitusi dasar. Keawaman kita boleh jadi menjadi bahan ‘sulapan’ oleh mereka yang punya ‘power’ dan lebih melek hukum; menyulap aset publik menjadi aset private.

Apa yang tengah terjadi untuk kasus ‘penggelapan’ aset rakyat di kawasan wisata Pangandaran tersebut, akan menjadi barometer bagi tempat-tempat lainnya khususnya di daerah Pantai Selatan Jabar (Pansel Jabar) yang memiliki aset serupa berupa lahan-lahan eks HGU. Jika di Pangandaran saja yang relatif lebih mudah/terbuka dari sisi aksesibilitas tempat, informasi, hukum dan lain-lain; secara pelan tapi pasti aset rakyat-nya telah ‘digelapkan’’; konon lagi dengan tempat-tempat lainnya yang lebih terpencil.

Kawasan Objek Wisata Terpadu (KOWT) yang menjadi dasar disepakatinya MoU antara Pemda Ciamis dengan PT. Startrust, tak lebih sebagai bungkus atau iming-iming belaka untuk mengaburkan proses peralihan hak publik ke hak private. Faktanya sudah tiga belas tahun tak ada kejelasan apa-apa tentang kebijakan dan rencana pembangunan KOWT tersebut. Fakta lainnya, yang terjadi justru pembangunan perumahan elit dan pengkaplingan.

Dulur-dulur warga Pansel Jabar, khususnya warga Pangandaran dan sekitarnya; baik yang di lembur maupun yang di pangumbaraan; Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya lontarkan:

Bagaimanakan kita akan bercerita ke anak-cucu nanti tentang sejarah aset rakyat di Pangandaran? Mungkinkah anak-cucu kita nanti dapat menikmati manfaat dari aset rakyat tersebut? Tiga belas tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menunggu dan berdiam diri.

Masih ada pedulikah kita atau masih terbelenggu rasa takut?

Sekarang sudah bukan jamannya takut! Bicaralah!

(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar