17 Februari 2009

Sejenak, Menyoal Pohon Beracun

Sebenarnya saya selalu tak hirau dengan sensasi-sensasi murahan. Tetapi karena hal ini menyangkut kehidupan sahabat saya, maka saya akan menyingsingkan lengan baju untuk itu.

Saya atas nama Keluarga Pohon Beracun menuntut kepada pihak yang bertanggungjawab untuk memberikan klarifikasi yang edukatif dan apresiatif tentang kami, dan juga menuntut permohonan maaf kepada kami; Keluarga Pohon Beracun.

Janganlah berbuat anarki terhadap kami! Cegah pihak yang berwenang dan warga lingkungan sekitar Anda untuk berbuat sewenang-wenang (mencabut, menebang atau bentuk-bentuk kejahatan mutilasi pohon). Lupakan semua sensasi pohon beracun! Jangan takut, kembalilah ke kehidupan normal. Dan jangan lupa rawat dan peliharalah kami, niscaya kami akan membalasnya dengan kebaikan pula.

Apa jadinya jika sensasi direspon secara reaktif oleh suatu tindakan atau kebijakan???

Menyoal Pohon Beracun

Oleh: Ganip Gunawan*

Saya baru saja pulang dari sebuah perkampungan Dayak penganut Kaharingan di Kalteng. Ada sebuah pertanyaan yang cukup menyentak dari seorang sahabat dari tokoh masyarakat setempat, ketika mengetahui bahwa saya adalah orang Sunda. Pertanyaannya begini; “Mengapa pohon-pohon di tanah Sunda yang dianggap beracun akan ditebang?”. “Bukankah orang Sunda paling dikenal memiliki pengetahuan tinggi dan ramah dengan pohon? “. Dia menanyakan hal itu selepas menonton televisi yang tiba-tiba saja heboh memberitakan pohon beracun di Kota Bandung.

Saya tergagap dengan pertanyaan itu, kemudian menjawabnya dengan pertanyaan lagi; “Apakah di kampung sini ada pohon beracun?”. Kelihatannya dia menunggu pertanyaan saya seperti itu. Lalu menjawabnya; “Semua pohon beracun, hanya sebagian kecil yang dapat kami makan. Tetapi pohon-pohon beracun tidak kami tebang. Saya salut sama pengetahuan orang Sunda karena terkenal lebih banyak mengenal dan memakan jenis-jenis pohon/tanaman sebagai lalapan atau disayur.” Terlihat dia menyunggingkan senyuman, seperti senyuman kemenangan. Ini adalah sindiran telak dari seorang sahabat baru saya di Kalteng.

Banyak hal yang berbahaya/beracun

Saya merenungi sindiran sahabat tadi dengan cara mengamati lingkungan sekitar dalam perjalanan saya pulang. Cobalah tengok, karena hal inipun dapat dengan sangat mudah dijumpai di lingkungan Anda sendiri. Dan dari situ saya makin menyadari bahwa banyak hal di lingkungan kita yang berbahaya. Bahkan jauh lebih berbahaya daripada pohon beracun.

Saya pulang meninggalkan perkampungan Dayak menggunakan perahu, dilanjutkan dengan kendaraan darat sampai ke Sampit, lalu naik pesawat, naik bis bandara, dan diakhiri dengan naik kereta listrik untuk sampai tiba di rumah. Seluruh alat transportasi tersebut berbahaya. Bahaya alat transportasi/lalu lintas tersebut menduduki urutan ketiga sebagai ‘pembunuh’ di Indonesia. Setiap tahunnya rata-rata merengut 30.000 korban akibat kecelakaan lalu lintas.

Sepanjang perjalanan darat tak putus saya melihat bentangan kabel aliran listrik. Aliran listrik tersebut sekarang jauh dapat menjangkau tempat-tempat yang dulu dikategorikan terpencil. Aliran listrik masuk ke rumah-rumah, dimana di dalamnya tinggal anak-anak dan bayi. Padahal aliran listrik tersebut tidak kalah berbahayanya. Sangat sering kita jumpai dalam berita sehari-hari dari media tentang kejadian dan jumlah korban akibat listrik, yakni kebakaran atau korban jiwa akibat sengatannya.

Sampai tiba di rumah saya melihat banyak hal lain lagi yang berbahaya. Mulai dari dapur seperti gas (LPG) atau minyak tanah, aliran listrik tentu saja, obat anti serangga dan lain-lain; sampai ke beranda dan pekarangan rumah dimana kita tanam berbagai pohon.

Saya mengingat kembali pelajaran sewaktu saya kuliah di Fakultas Kehutanan IPB. Mata ajaran itu bernama Dendrologi, yakni ilmu pengenalan jenis-jenis pohon, meliputi tentang: taxon, morfologi, sifat dan sebarannya. Dari situ saya tahu bahwa sebagian besar pohon/tanaman tidak bisa dimakan karena berbahaya, bahkan oleh binatang sekalipun.

Anda mungkin tahu ada satu jenis singkong yang sengaja dibudidayakan oleh masyarakat tetapi singkong itu beracun bahkan babi sekalipun enggan memakannya. Di daerah Pangandaran jenis singkong itu disebut Sampeu Lambong (Manihot esculenta), memiliki zat berbahaya karena mengandung sianida.

Dari dahulu kami mengetahui bahwa banyak pohon seperti bintaro, akasia dan juga bunga mentega adalah berbahaya karena mengandung racun. Dan sesungguhnya jauh lebih banyak lagi spesies yang berbahaya. Tetapi bahayanya tidaklah sehoror seperti yang diberitakan baru-baru ini. Sungguh keterlaluan, bahkan ada pihak yang mengatakan hanya dengan menyentuhnya bisa membuat lumpuh. Sontoloyo!

Mungkin menurut sudut pandang manusia pohon itu berbahaya. Tetapi dari sudut pohon, itu adalah sistem alami yang dikembangkan sebagai strategi pertahanannya, dan sama sekali bukan untuk membahayakan manusia. Pohon dapat mengembangkan pertahanannya dengan bebagai ragam cara mulai dari evolusi morfologinya (misalnya berduri atau bau) serta mengembangkan zat-zat beracunnya.

Sekarang coba saja amati seluruh tanaman yang ada di beranda atau di pekarangan rumah Anda. Coba temukan tanaman/pohon apa yang tidak berbahaya atau tidak mengandung racun? Dan berapa banyak yang berbahaya? Sebagai panduan untuk melihat tingkat bahayanya, Anda bisa memeriksa apakah bagian dari tanaman/pohon tersebut dapat dimakan, apakah getahnya membuat gatal, apakah jika tersenggol dapat menyebabkan luka atau apakah jika dicium membuat kepala pening. Lalu bagaimana Anda akan bersikap terhadap seluruh tanaman/pohon yang Anda miliki? Apakah seluruh tanaman yang masuk dalam kategori bahaya menurut Anda akan ditebas habis?

Berharmoni dengan tanaman/pohon

Sebelum kita bersikap terhadap tanaman/pohon yang berbahaya. Sebaiknya kita lihat dahulu hal lain yang jauh lebih berbahaya daripada pohon beracun. Yang perlu kita lihat adalah logikanya. Kalau Anda setuju bahwa alat-alat transportasi, listrik, gas (LPG) dan obat anti serangga seperti saya singgung di atas adalah berbahaya (atau mengandung bahaya). Apakah lantas kemudian kita akan melarang penggunaan kendaraan, listrik, gas, dan obat anti serangga?

Hal seperti itulah yang saya tangkap dari logika sensasi pohon beracun di Bandung. Warga dibuat resah.
Dinas Tata Kota setempat dan Walikota dibuat sibuk untuk hal yang sebenarnya tidak perlu karena ada beberapa pihak merekomendasikan untuk membongkar habis seluruh tanaman yang mengandung racun. Kendati pada sisi lain patut diapresiasi atas responnya yang cukup sigap karena berkenaan dengan keselamatan publik.

Sensasi pohon beracun tersebut sekarang telah menular dari Bandung ke kota-kota lainnya, termasuk Jakarta. Beberapa tempat lingkungan pemukiman di bilangan Jakarta telah memulai mencabut/menebang pohon bintaro. Di Bandung konon pohon-pohon yang dicurigai beracun telah mulai dimutilati (dikupas kulitnya). Jika pemerintah tidak hati-hati dan bersikap reaktif untuk menebang seluruh pohon yang beracun atau membahayakan, tentu hal ini akan membikin repot bagi semua. Bahkan salah-salahnya akan berakibat bencana karena alam (ekosistem) akan terganggu.

Coba saja kita hantar/ikuti logikanya. Apa yang telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti dari Bandung tentang kandungan racun dan bahayanya jenis tanaman tertentu, belumlah seberapa. Karena kalau penelitiannya dilanjutkan akan ada ribuan tanaman/pohon lain lagi yang mengandung bahaya. Dan itu tersebar tidak hanya di ruang-ruang publik di perkotaan melainkan tersebar di seluruh pelosok tanah air dimana di situ terdapat penduduk atau pemukiman, yang memiliki hak sama untuk mendapat perlindungan pemerintah atas keselamatan dari bahaya tanaman/pohon berbahaya/beracun.

Jika demikian maka akan ada jutaan kubik biomas yang akan hilang, ribuan spesies akan terancam punah, dan sudah pasti akan berakibat pada keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Belum lagi dari sisi perekonomian, akan banyak nilai ekonomi yang hilang dari keberadaan tanaman/pohon beracun. Karena sebagian dari tanaman/pohon itu sebaliknya justru memberi manfaat lain seperti untuk obat, kosmetik, bahan baku industri dan lain-lain. Pada sisi lainnya lagi anggaran baru akan tersedot untuk proyek nasional pembongkaran tanaman/pohon beracun. Anda dapat melanjutkan alurnya; .. poyek-proyek baru kemudian bermunculan, ladang baru untuk menyemai benih korupsi...

Sudah-sudah! Sudah cukup, tak perlu dihantar/diikuti lagi logikanya. Karena logikanya itu tidak masuk akal. Melawan alam. Seorang sahabat lain di Bogor bergurau, katanya mungkin akan lain persoalan jika yang perlu dibongkar itu adalah tanaman atau buah pohon impor yang ‘bahayanya’ sangat nyata bagi perekonomian dan ekosistem lokal, dan digantikan dengan jenis-jenis tanaman lokal yang telah melalui proses pemuliaan tanaman.

Apa yang perlu kita lakukan agar dapat berharmoni dengan tanaman/pohon? Jawabanya sederhana. Penelitian boleh terus dilakukan, dan itu penting. Hasilnya dipaparkan atau direkomendasikan secara lebih edukatif (bukannya secara horor), serta direspon oleh pemerintah secara arif dan bijak.

Jika yang dikhawatirkan bahwa yang menjadi sasaran dari akibat negatif pohon berbahaya itu adalah anak-anak, maka membuat modul-modul ajaran tentang pohon jauh lebih mudah, lebih murah dan lebih mendidik bagi anak-anak sekolah. Dengan cara itu apresiasi anak-anak terhadap pohon dan lingkungan hidupnya akan tumbuh. Mereka kita didik untuk kreatif dan alternatif jika melihat lingkungan di sekitarnya berbahaya. Bukannya dengan cara instan dibongkar lingkungannya itu, seperti diperagakan dari wacana atau sensasi pohon beracun saat ini.

Memasang papan-papan himbauan yang kreatif di ruang terbuka atau taman-taman publik juga jauh lebih murah, aman dan sederhana ketimbang membongkar seluruh tanaman yang ada serta menggantinya dengan tanaman baru yang kita juga belum tahu atau tidak ada jaminan bebas dari bahaya atau mengandung racun.

Sementara itu, penelitian dan dokumentasi atau statistik tentang kecelakaan akibat pohon bebahaya perlu terus dipantau/direkam. Sehingga kita juga dapat menentukan tindakan kreatif/alternatif berikutnya jika dari situ terbukti bahaya pohon beracun itu berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, misalnya karena banyak korban berjatuhan.

Tapi sampai sejauh ini saya telah coba selusur dari Dr. Google untuk mencari angka/statistik korban tanaman/pohon berbahaya/beracun bagi manusia. Hasilnya NIHIL alias tak saya temukan. Korban jatuh dari pohon atau tertimpa pohon memang sesekali terjadi. Tetapi secara statistik sama sekali tidak signifikan. Dan yang lebih penting lagi tak ada korelasi apa-apa dengan kandungan zat kimia (racun) dari yang dikandung oleh pohon tersebut.***

Catatan: Jika Anda mau menjadi sahabat kami --Keluarga Besar Pohon Beracun-- sebarkan informasi ini kepada yang lain (sahabat, kerabat dan kolega Anda, khususnya pada lingkungan komunitas RT/RW dimana Anda tinggal). Terima kasih atas bantuannya. Salam hijau!***

5 komentar:

  1. Terima kasih. Tulisan Anda memberikan perspektif melegakan bagi kami.

    BalasHapus
  2. Setuju!!! Hentikan perusakan pohon. Kepada para peneliti dan media masa jangan asbun (asal bunyi)!! Teruskan perjuangan perlindungan lingkungan.

    BalasHapus
  3. Terima kasih kembali atas simpati Anda semua. Juga terima kasih kepada Bapak Gubernur Jabar, Bapak Ahmad Heryawan, yang telah singgah di Blog ini serta telah berkomitmen, sbb:

    "... insyaAllah akan segera dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait."

    Kami senang dengan komitmen Bapak, dan mudahan diikuti oleh komitmen dan tindakan nyata dari pejabat pemerintahan daerah di tempat lainnya di seluruh Indonesia.

    BalasHapus
  4. "... Musnahkan tanaman beracun. . .

    . karena itu berbahaya bagi tubuh bila kita tidak tau racun yang ada di dalam nya...

    BalasHapus
  5. Risikonya atau potensi kerugiannya apa sih kalau kita biarkan semua pohon tumbuh merdeka? Gak ada ruginya kan, gak ada sama sekali. Malah jelas keuntungannya tak terhingga buat kita. Saya lebih percaya dengan yang mendasign alam ini, sehingga keberadaan semua jenis tumbuhan pasti bukan tanpa maksud. Kenapa sampai ada pikiran harus musnahkan salah satu jenis tumbuhan. Petaka apa lagi nantinya yang bakal kita terima sebagai balasan melawan designer alam ini. Seorang ateis pun mungkin gak akan sampai berpikir begitu.

    Kalau tahu beracun ya udah jangan dimakan lah. Habis perkara. Berapa sih beban hidup yang harus kita tanggung akibat kita tidak makan buah, biji atau daun dari pohon beracun (bintaro, jarak, oleander dsb)? Gak ada kan. Gak ada kewajiban kita harus makan tumbuhan tertentu.

    Takut dimakan anak-anak? Berapa besar sih kemungkinan anak kita tiba2 makan buah atau daun dari pohon beracun? Sangat kecil kemungkinannya. Bahkan boleh dikata tingkat kemungkinannya mendekati nol jika kita sebagai orang tua pandai menjaga dan mendidik anak-anak kita sehingga kalau makan gak asal makan.

    Berbahaya bagi tubuh bila kita tidak tahu racun yang ada di dalamnya? Nenek moyang kita sudah menemukan ratusan jenis tumbuhan yang sudah terbukti ribuan tahun aman untuk dimakan. Apa masih kurang cukup? Ya silakan kalau mau eksperimen. Risiko tanggung sendiri. Jangan pohonnya yang harus nanggung resiko dibabat.

    Ada-ada saja perilaku orang ya.

    BalasHapus